10/15/2012

Pendekatan Sosial dalam Kegiatan KKN

Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu bentuk pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Secara ideal, penyelenggaraan KKN seyogyanya dapat menjangkau tiga sasaran utama. Pertama, sebagai wahana pembelajaran bagi para mahasiswa (peserta KKN) untuk mengaplikasikan berbagai teori yang diperolehnya selama dalam perkuliahan, sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing. Kedua, KKN dapat memberikan nilai tambah dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Ketiga, KKN merupakan media untuk membangun kemitraan antara lembaga perguruan tinggi yang bersangkutan dengan masyarakat, termasuk di dalamnya sebagai upaya untuk membangun citra sekaligus dapat dijadikan sebagai ajang promosi perguruan tinggi yang bersangkutan.
Namun dalam prakteknya, tidak mustahil ketiga sasaran KKN tersebut di atas dapat melenceng dari harapan semula, sehingga setelah KKN berakhir, justru para mahasiswa (peserta KKN) tetap saja tidak memperoleh pembelajaran diri yang berarti. Begitu pula, kualitas kehidupan masyarakat di lokasi KKN tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Bahkan, di mata masyarakat bisa saja citra perguruan tinggi malah semakin merosot Dengan demikian, penyelenggaraan KKN boleh dikatakan mengalami kegagalan atau tidak efektif.
Tentu saja, kiranya banyak faktor yang menyebabkan penyelenggaraan KKN menjadi tidak efektif. Di antara sejumlah faktor penyebab kegagalan penyelenggaraan KKN, salah satunya adalah berkenaan dengan kemampuan para mahasiswa (peserta KKN) dalam melakukan pendekatan sosial dengan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan berupaya memaparkan tentang : apa itu pendekatan sosial ? bagaimana tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam pendekatan sosial ? dan bagaimana pula proses interaksi sosial yang terjadi dalam KKN ? Dengan harapan kiranya dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan,bagi para mahasiswa yang hendak mengikuti program KKN.
A. Pendekatan Sosial
Yang dimaksud dengan pendekatan sosial di sini adalah upaya dari Perguruan Tinggi, khususnya para mahasiswa peserta KKN selaku pelaksana utama dalam KKN untuk dapat mengintegrasikan diri (meleburkan diri) ke dalam berbagai kegiatan masyarakat agar dapat diterima dan berperan-serta dalam berbagai kegiatan masyarakat di tempat KKN.
Pendekatan sosial dilakukan dalam seluruh rangkaian pengelolan kegiatan KKN, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pada tahap evaluasi. Dalam tahap perencanaan, pendekatan sosial dilakukan dengan berusaha melibatkan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyusunan rencana atau program kegiatan KKN. Dengan pelibatan (partisipasi) masyarakat dalam perencanaan, kita dapat mengidentifikasi berbagai ekspektasi, kebutuhan dan permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat, sehingga kita dapat menyusun action plan yang lebih tepat dan realistis. Semakin banyak masyarakat yang dilibatkan tentunya akan semakin baik. Di samping itu, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dapat membawa efek psikologis kepada mereka untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam mengimplementasikan rencana-rencana yang telah dibuat.
Pendekatan sosial dalam tahap pelaksanaan, terutama dilakukan oleh peserta KKN dengan cara membangun komunikasi dan hubungan sosial yang harmonis untuk secara – secara bersama mengimplementasikan setiap rencana yang telah disusun. Dibandingkan dengan tahapan KKN yang lainnya, justru pada tahap pelaksanaan inilah pendekatan sosial memegang peranan penting dan harus banyak dilakukan oleh para peserta KKN.
Sedangkan pendekatan sosial dalam tahap evaluasi berkaitan erat dengan partisipasi masyarakat untuk memberikan data yang obyektif atas kegagalan dan keberhasilan kegiatan KKN.
Kegagalan dalam melakukan pendekatan sosial dapat berdampak terhadap kegagalan penyelenggaraan KKN itu sendiri. Sebagus apapun program yang dirancang, jika tanpa didukung pendekatan sosial yang memadai tampaknya hanya akan menghasilkan kesia-sian saja. Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan tentang pendekatan sosial dari setiap mahasiswa (peserta KKN).

B. Tahapan Pendekatan Sosial

Untuk tercapainya pendekatan sosial yang baik, perlu dilakukan tahapan-tahapan pendekatan sosial, sebagai berikut :

1. Pembukaan Hubungan
Agar pelaksanaan KKN berjalan efektif dan efisien perlu dukungan dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, mahasiswa dan dosen pembimbing perlu membuka hubungan dengan masyarakat. Dalam tahapan ini mahasiswa beserta dosen pembimbing dapat mengadakan diskusi atau loka-karya dengan semua pihak strategis di masyarakat tentang rencana kerja.
Selain terjadi saling memperkenalkan diri, dari pihak peserta KKN perlu pula memperkenalkan tentang pengertian, maksud dan tujuan Kuliah Kerja Nyata kepada masyarakat, sehingga masyarakat memperoleh pemahaman yang tepat dan memiliki kepedulian terhadap kegiatan KKN. Pada tahap ini perlu dibicarakan pula hal-hal teknis yang berkaitan dengan pelaksanaan KKN.
Selesai tahap ini, rencana atau program yang telah disiapkan sebelumnya perlu segera disesuaikan dengan berbagai perkembangan yang terjadi, sekaligus ditata dan dijajaki kemungkinan-kemungkinan realisasinya.

2. Pemeliharaan Hubungan
Hubungan yang telah terjalin melalui tahapan sebelumnya, selanjutnya perlu dipelihara dan dijaga agar suasana KKN tetap berjalan kondusif. Kehangatan dan keakraban serta saling percaya dengan masyarakat terus dipelihara melalui kegiatan komunikasi secara formal maupun informal. Dalam pemeliharaan hubungan, komunikasi informal dapat memberikan hasil yang jauh lebih efektif. Oleh karena itu, peserta KKN, baik secara individual maupun kelompok seyogyanya dapat mengembangkan komunikasi informal dengan seluruh lapisan masyarakat, misalnya pada saat di warung, shalat berjamaah di masjid atau dalam bentuk-bentuk kegiatan informal lainnya.

3. Pembinaan Hubungan
Pembinaan hubungan terutama dilaksanakan oleh pengelola KKN (lembaga atau tim yang ditunjuk oleh perguruan tinggi yang bersangkutan) pada saat mengadakan pemantauan (monitoring) dan evaluasi terhadap rencana dan pelaksanaan kegiatan yang telah disetujui pihak-pihak strategis. Pada tahap ini dapat terjalin hubungan kerja sama antara Perguruan Tinggi dengan masyarakat yang tidak hanya sebatas pada masa KKN, akan tetapi sangat dimungkinkan pula untuk menjalin kerja sama lanjutan yang mutualisme, setelah masa KKN berakhir. Pembinaan hubungan ini dimaksudkan untuk semakin memperkokoh hubungan kerjasama yang telah terjalin.

4. Mengakhiri Hubungan
Sejalan dengan berakhirnya masa KKN, maka secara formal hubungan kerja sama antara peserta KKN dengan masyarakat pun berakhir. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan (bahkan sangat dianjurkan) untuk terjadinya hubungan lanjutan yang bersifat interpersonal dengan masyarakat setempat.
Pada tahap ini peserta KKN berpamitan dengan masyarakat, baik secara formal maupun personal. Secara formal biasanya dilakukan secara seremonial dalam bentuk acara khusus pelepasan peserta KKN oleh masyarakat setempat. Dalam hal ini, perwakilan dari lembaga Perguruan Tinggi diharapkan dapat hadir, sekurang-kurangnya dihadiri oleh Dosen Pembimbing. Sedangkan secara personal, pamitan dilakukan antar-individu (interpersonal) dalam suasana yang tidak formal. Jika tidak memungkinkan untuk pamitan dengan seluruh masyarakat, paling tidak peserta KKN berpamitan dengan tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang yang telah berjasa memberikan bantuan dan dukungannya selama kegiatan KKN berlangsung.
Pengakhiran hubungan yang baik ditandai oleh adanya kesan positif dari kedua belah pihak. Kesan akhir positif hanya akan diperoleh manakala tahapan – tahapan pendekatan sosial sebelumnya dapat dilalui dengan baik, yang disertai dengan karya-karya nyata yang dihasilkan selama kegiatan KKN berlangsung.

C. Proses Interaksi Sosial dalam KKN

Kegiatan KKN pada dasarnya merupakan kegiatan interaksi sosial yang melibatkan berbagai pihak. Dalam kegiatan KKN, kita akan menjumpai berbagai bentuk interaksi sosial, yang secara garis besarnya dapat diklasifikasikan ke dalam tiga pola atau bentuk interaksi sosial, yaitu : (1) interaksi individu dengan individu; (2) interaksi individu dengan kelompok; dan (3) interaksi kelompok dengan kelompok.
Interaksi individu dengan individu dapat terjadi antara peserta KKN dengan peserta KKN atau peserta KKN dengan anggota masyarakat. Sedangkan interaksi individu dengan kelompok dapat terjadi antara peserta KKN dengan kelompok KKN atau peserta KKN dengan kelompok masyarakat. Sementara interaksi kelompok dengan kelompok dapat terjadi antara kelompok KKN dengan kelompok masyarakat atau lembaga perguruan tinggi dengan kelompok masyarakat.
Berkenaan dengan interaksi sosial antara peserta KKN dengan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok terdapat beberapa peran yang dijalankan oleh peserta KKN, diantaranya :
  1. komunikator; bertugas untuk mengkomunikasikan segenap program KKN yang akan dilaksanakan kepada masyarakat terkait, agar mereka yakin dan mau perpartisipasi aktif dalam seluruh rangkaian kegiatan KKN. Oleh karena itu, peserta KKN seyogyanya dapat menguasai berbagai teknik komunikasi dan mampu menerapkannya secara tepat dan bijak diantaranya : (a) teknik persuasif; yaitu teknik berkomunikasi untuk mempengaruhi orang lain dengan cara membujuk secara halus dan tidak menyinggung perasaan; (b) teknik informatif; yaitu teknik komunikasi dalam bentuk info khabar yang dapat mengurangi ketidakpastian atau suatu teknik komunikasi agar komunikan (pihak yang menerima informasi) dapat mengambil keputusan secara tepat; (c) teknik instruksi; yaitu teknik komunikasi yang cenderung bersifat perintah yang harus dilaksanakan dan jika tidak dilaksanakan akan terkena sanksi. Dalam berinteraksi dengan masyarakat, peserta KKN tentunya akan lebih tepat menggunakan teknik persuasif dan informatif, serta diusahakan sedapat mungkin untuk menghindari penggunaan teknik instruksi.
  2. fasilitator; bertugas membantu dan memberi kemudahan kepada masyarakat untuk dapat memberdayakan dan mengembangkan dirinya. Dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator, pada dasarnya peserta KKN bertindak sebagai pendidik melalui pendekatan andragogi (pendidikan orang dewasa) dengan menekankan pada upaya-upaya pemecahan masalah yang dihadapi pada saat sekarang. Teknik – teknik pembelajaran yang dilakukan dapat berbentuk simulasi, game, diskusi, studi kasus dan teknik-teknik pembelajaran sejenisnya yang tidak bersifat “menggurui”. Dari peran fasilitator ini pula diharapkan dapat menghasilkan kader-kader pembangunan daerah, yang dibentuk melalui kegiatan pelatihan kader.
  3. motivator; bertugas memberikan dorongan kepada masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di daerahnya.
  4. inovator; bertugas mengembangkan berbagai pembaharuan untuk kepentingan kemajuan masyarakat. Dalam hal ini, peserta KKN bertindak sebagai agen perubahan (agent of change)
  5. mediator; bertugas untuk menjembatani kepentingan masyarakat dengan pihak ketiga. Dalam pelaksanaan KKN sangat mungkin ditemukan masalah-masalah atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang karena alasan kewenangan dan kemampuan tidak mungkin dilakukan oleh para peserta KKN, maka dalam hal ini peserta KKN dapat menghadirkan pihak ketiga untuk diminta bantuannya. Misalkan, untuk masalah kesehatan dapat meminta bantuan dari Dinas Kesehatan, atau masalah pendidikan dari Dinas Pendidikan, dan sebagainya.
Peran-peran tersebut dapat dilakukan secara simultan, pada saat yang bersamaan mungkin bertindak sebagai fasilitator, sekaligus juga merangkap sebagai motivator, komunikator, atau peran-peran lainnya. Kesuksesan pendekatan sosial sangat ditentukan oleh sejauh mana para peserta KKN dapat mewujudkan peran-peran tersebut secara baik. Dengan menjalankan peran-peran tersebut, maka proses perubahan (pembangunan) yang terjadi di masyarakat melalui kegiatan KKN akan tampak lebih mengedepankan prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”
Dalam berinteraksi dengan masyarakat, peserta KKN seyogyanya dapat membaca dan memahami sikap masyarakat terhadap kegiatan KKN. Di dalam masyarakat sangat mungkin ditemukan sikap terhadap kegiatan KKN yang beragam (termasuk sikap terhadap peserta KKN), ada yang cenderung positif, acuh tak acuh atau bahkan negatif.
Berhadapan dengan masyarakat yang memiliki sikap positif tentunya akan relatif lebih mudah untuk didekati dan diajak bekerja sama dalam mensukseskan berbagai program yang telah dicanangkan. Namun, sebaliknya berhadapan dengan masyarakat yang cenderung acuh tak acuh atau bahkan negatif diperlukan ekstra keras untuk mendekatinya. Untuk mendekati masyarakat yang acuh tak acuh atau negatif, diperlukan komunikasi yang lebih intensif dengan disertai kesabaran yang tinggi dengan tetap menunjukkan sikap empati dan simpati terhadap mereka. Dalam hal ini, tampaknya peserta KKN akan lebih banyak diuji tentang sejauhmana tingkat kecerdasan sosialnya.
Beberapa hal yang layak untuk diperhatikan oleh para peserta KKN dalam mengintegrasikan diri dengan masyarakat setempat, diantaranya adalah :
  1. Dekati semua tokoh masyarakat setempat yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat, baik tokoh formal maupun non formal, untuk “meminjam” pengaruhnya guna kepentingan kesuksesan pelaksanaan KKN.
  2. Perlu disadari bahwa pendekatan sosial yang dilakukan bukan untuk kepentingan sesaat dan hanya untuk sementara waktu, yakni hanya pada waktu KKN berlangsung, tetapi diupayakan agar dapat memiliki kepentingan untuk waktu jangka panjang,
  3. Tanamkan keinginan untuk mengenal warga masyarakat lebih jauh dan berniat untuk menambah saudara, dengan siapa pun tanpa pandang bulu. Jangan mengambil tindakan alieanasi (pengasingan diri) yang bersifat eksklusif.
  4. Menghargai dan menghormarti sistem nilai yang berlaku di masyarakat setempat, meski mungkin nilai-nilai itu tidak selaras dengan nilai yang dianut oleh peserta KKN.
  5. Menjaga netralitas dalam konflik yang berkembang di masyarakat. Jika kebetulan ditempatkan di suatu lokasi KKN yang sedang berkembang konflik, tidak perlu menunjukkan keberpihakan kepada salah satu pihak, walau pun mungkin peserta KKN akan ditarik-tarik sedemikian rupa untuk berpihak. Peserta KKN tetap dalam posisi netral. Jika memungkinkan kembangkanlah hal-hal positif dari suasana konflik yang berkembang.
  6. Menjaga penampilan diri, sikap dan perilaku. Senantiasa berpakaian secara santun, hindarkan pembicaraan yang bersifat mengkritik dan dapat menyinggung perasaan masyarakat, terutama yang menyangkut keyakinan serta tata nilai masyarakat setempat.Bersikaplah rendah hati ramah, dan empati terhadap siapapun, dimana pun dan pada saat kapan pun.
  7. Di samping berupaya meleburkan diri dengan masyarakat setempat, proses pengintegrasian secara internal dalam kelompok peserta KKN pun harus dilakukan. Berikan kesempatan kepada setiap anggota kelompok KKN untuk berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Siapa pun dan latar belakang disiplin ilmu apa pun pada dasarnya memiliki kedudukan dan tanggung jawab yang sama dalam kelompok. Jalankan komunikasi dan koordinasi internal serta kelola (manage) kelompok sedemikian rupa hingga benar-benar dapat menjadi satu tim KKN yang kompak dan cerdas,
D. Kesimpulan
  1. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diharapkan dapat tercapai pendekatan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk memberikan dukungan serta bersedia berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang telah direncanakan, sehingga pada gilirannya setiap tujuan dan sasaran dari adanya kegiatan KKN kiranya dapat terwujudkan dengan baik.
  2. Pendekatan sosial merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan guna menunjang keberhasilan kegiatan KKN. Oleh karena itu, penyelenggaraan KKN perlu didasari oleh pendekatan sosial yang tepat dan memadai, baik pada saat perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi.
  3. Pendekatan sosial dilakukan melalui tahapan-tahapan yang sistematis, meliputi tahapan : (1) pembukaan hubungan; (2) pemeliharaan hubungan; (3) pembinaan hubungan; dan (4) mengakhiri hubungan. Dalam kegiatan KKN terdapat beberapa pola atau bentuk interaksi sosial yaitu : (1) interaksi individu dengan individu; (2) interaksi individu dengan kelompok; dan (3) interaksi kelompok dengan kelompok.
  4. Interaksi sosial antara peserta KKN dengan masyarakat ditandai oleh adanya beberapa peran dari peserta KKN yang harus diwujudkan secara baik. Dalam interaksi sosial, akan ditemukan sikap masyarakat yang beragam terhadap kegiatan KKN, ada yang cenderung positif, acuh tak acuh atau bahkan negatif yang perlu didekati secara tepat dan dipahami oleh para peserta KKN.
  5. Hal-hal yang layak diperhatikan oleh para peserta KKN dalam mengintegrasikan diri dengan masyarakat, meliputi : (a) keinginan untuk menjadi bagian integral dari masyarakat setempat; (b) pendekatan sosial bukan untuk kepentingan sesaat; (c) menghargai dan menghormarti sistem nilai yang berlaku di masyarakat setempat; (d) berusaha mendekati semua tokoh masyarakat setempat yang memiliki pengaruh kuat; (e) menjaga netralitas dalam konflik yang berkembang di masyarakat; (f) menjaga penampilan diri, sikap dan perilaku di masyarakat dan (g) menjadi tim KKN yang kompak dan cerdas.
Sumber Bacaan :
Adi R. Thahir. 2006. Pola Pelatihan Kader Bagi Masyarakat (makalah). Jakarta: LPM Universitas Trisakti.
Agraha Suhandi. 1993. Pola Hidup Masyarakat Indonesia. Bandung : Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Anas Rasyid. 2006. Metode Pemecahan Masyarakat (makalah). Jakarta: LPM Universitas Trisakti.
B. Ter Haar. 1948. Adat Law in Indonesia. New York : Institute of Pacific Relations
C.A. Van Peursen.1984. Strategi Kebudayaan. Jakarta : Kanisius.
Gerungan, WA. 1977. Psychologi Sosial. Bandung : Eresco.
Jalaluddin Rakhmat. 1985. Psikologi Komunikasi. Bandung : C.V. Remaja Karya.
Kartika Wangsarahardja. 2006. Penyuluhan Kepada Masyarakat (makalah). Jakarta: LPM Universitas Trisakti.
——–. 2006. Pendekatan Sosial (makalah). Jakarta: LPM Universitas Trisakti.
Krech. et. al. 1962. Individu in Society. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha.
Medrilzam, M. 2000. Program Pendukung Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (Modul Pelatihan Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi Partisipatif; Buku Pegangan untuk Pelatihan Fasilitator). Jakarta : BAPPENAS.
Yuni Retna Dewi. Teknik Komunikasi Pada Proses Pendekatan Masyarakat (makalah). Jakarta: LPM Universitas Trisakti.
*)) Akhmad Sudrajat adalah dosen di FKIP-UNIKU dan Pengawas Bimbingan dan Konseling Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan

Hubungan Teori Pendidikan dengan Kurikulum

Kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S. Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu : (1) pendidikan klasik; (2) pendidikan pribadi; (3) teknologi pendidikan dan (4) teori pendidikan interaksional.


1. Pendidikan klasik (classical education)

Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme, Essensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan inkuiri.

2. Pendidikan pribadi (personalized education).

Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey – memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,– memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis),

3. Teknologi pendidikan,

Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational . Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum teknologis, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik, melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik, sehingga mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.

4. Pendidikan interaksional,

Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.
==============

Anak cerdas istimewa adalah anak berrisiko

Orang tua adalah salah satu figur terpenting dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya. Tugas yang berat ini, dirasakan kini semakin berat karena tuntutan pengasuhan dan pendidikan memerlukan dasar-dasar kuat yang dapat lebih dipertanggungjawabkan (evidence based practice in the childhood field) demi tercapainya tujuan yang hendak dicapai, yaitu mengantarkan buah hatinya agar kelak menjadi manusia yang bertanggung jawab dan mampu berfungsi secara baik di tengah masyarakat.


Manakala buah hatinya mempunyai tumbuh kembang yang berbeda dengan temanteman sebayanya maka tugas itu menjadi semakin berat lagi. Karena mereka harus mampu menjadi observer yang piawai terhadap kemajuan maupun ketertinggalan perkembangan anak-anaknya, mencatat perubahan apa saja yang terjadi, sekaligus menjadi pengasuh dan pendidik di rumah yang tangguh, dan harus pula memenuhi tuntutan mampu bekerjasama secara baik dengan guru sekolah. Mereka juga harus mampu melihat hal-hal yang mungkin akan terjadi, serta tindakan apa saja yang harus diberikan dalam rangka melakukan stimulasi, intervensi dan tindakan pencegahan untuk menghindari dampak negatip sebagai akibat ketidak selarasan perkembangan. Singkat kata, ia harus mengahadapi anak dalam kelompok anak berrisiko. Anak dan orang tua membutuhkan perhatian khusus yang terus menerus, dan membutuhkan bimbingan bukan hanya dari satu orang tenaga professional, tetapi dari banyak profesi dan guru secara multidisiplin dan terpadu. Melakukan pendekatan ke dua arah sekaligus, yaitu kepada kesulitan yang terjadi akibat disinkronitas perkembangannya, dan juga ke arah faktor kuat yang dimiliki anak.

Dalam hal anak cerdas istimewa, faktor kuatnya adalah kecerdasan istimewa dan bakat istimewa yang dimilikinya, faktor ini juga memerlukan dukungan yang seksama agar ia dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana dirinya, meningkatkan rasa percaya diri dan pembentukan konsep diri yang positip. Indonesia, adalah sebuah negara besar yang tengah mengalami transisi, dari masyarakat tribal atau masyarakat rumpun dengan keunikan sistem sosial, sistem nilai dan kekerabatannya, ke arah masyarakat moderen yang membutuhkan dukungan keprofesionalan dan ilmu pengetahuan yang baik (evidence based practice). Dalam kondisi transisi inilah para orang tua dapat menjadi “korban” tarik menarik, antara bentuk pengasuhan tradisional dalam keluarga masyarakat rumpun dan bentuk pengasuhan moderen. Ataupun antara bentuk pengasuhan moderen yang didukung oleh ilmu pengetahuan moderen (evidence based practice) dengan bentuk pengasuhan alternative moderen (pseudoscience) yang lebih banyak dilatar belakangi oleh bentuk komersial bahkan fraudulence (penipuan) yang kini marak di masyarakat dunia2. 

Apalagi hingga kini dalam sistem kesehatan nasional belum ada 2 Bentuk pengasuhan yang dilatarbelakangi oleh fraudulence dan pseudoscience ini antara lain penggunaan smart drugs, megadosis vitamin, berbagai preparat yang dianggap merangsang otak, food supplement yang ditawarkan sebagai obat, mengajari bayi membaca dan matematika dengan menggunakn flash card, menstimulasi batita dengan CD Rom, muscle touch therapy, dan sebagainya. 5 sistem pemantauan tumbuh kembang bayi dan anak secara berkala serta detil oleh tenaga kesehatan (dokter anak tumbuh kembang), sehingga para orang tua juga tidak mempunyai konsultan tetap dalam upaya pemantauan anak-anaknya. Bahkan orang tua tidak mempunyai catatan tumbuh kembang anak-anaknya.Situasi tarik-menarik ini dapat dirasakan dalam berbagai diskusi baik diskusi tatap muka saling berbagi pengalaman dan pengetahuan, media cetak, maupun diskusi maya melalui mailinglist. Sehingga tak ayal sering terjadi debat panas yang meruntuhkan hati, maupun kebingungan pengetahuan. Konflik antar orang tua dapat terlihat untuk memperebutkan legitimasi interes masing-masing. Antara yang berlatar belakang tradisional, komersial ataupun yang ideal.
 
Kembali kepada bahwa Indonesia adalah suatu bangsa yang tengah mengalami transisi, dan transisi ini dapat memunculkan “korban” manakala masyarakat tidakmmendapatkan bimbingan yang baik oleh berbagai tenaga profesi secara terpadu. Terlebih bila dalam kelompok professional terdapat perpecahan pendapat, maka situasi ini akan lebih memberikan “rasa hancur” di hati para orang tua dan kehilangan kepercayaan terhadap kelompok professional dan praktisi.

Perpecahan pendapat pihak profesi yang berlanjut pada kebingunan para orang tua, maka dampak akhirnya adalah tidak terpenuhinya kebutuhan tumbuh kembang anak dan pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak. Contoh situasi ini dapat kita rasakan dalam rangka pengasuhan dan pendidikan anak-anak cerdas istimewa (gifted children) terutama yang mengalami disinkronitas perkembangan. Area cerdas istimewa saat ini di Indonesia menjadi area yang sangat kontroversial. Bukan hanya dari teori giftedness yang menjadi dasar tatalaksana deteksi & diagnosa – tetapi juga masih belum dikenalnya secara luas tumbuh kembang dan personalitas anak cerdas istimewa di kalangan profesi sendiri, serta belum ada pedoman yang memadai bagaimana bentuk pendidikan yang dirasa dapat memenuhi tuntutan
penanganan faktor kuat dan faktor lemah anak, maka area ini menjadi debat yang paling panas dimasa kini. Pada ujungnya sebagian masyarakat terpaksa memilih bentuk sekolah rumah, yang pengaturannya juga belum jelas, apalagi bagi anakanak berkebutuhan khusus.


Translate

Popular Posts

Tampilkan link blog kamu disini ? caranya paste kode ini di blog kamu